Metode lampiran (insersi), merupakan metode yang baru diperkenalkan belakangan ini. Sehingga metode ini belum begitu dikenal dan populer, tetapi telah sering terlaksana dalam berbagai media dan berdaya guna. Metode lampiran (insersi), yaitu cara menyajikan bahan/materi pelajaran dengan cara; inti sari ajaran-ajaran Islam atau jiwa agama/emosi religius diselipkan/disisipkan di dalam mata pelajaran umum (ilmu-ilmu yang bersifat sekuler).
Sifat penyisipan jiwa agama ke dalam mata pelajaran umum, seperti bidang studi hukum, ilmu sosial, ilmu pasti, ilmu sejarah dan bidang-bidang ilmu-ilmu lainnya itu hendaknya disajikan secara halus, sehingga hampir tidak terasa/kentara, bahwa sesungguhnya siswa/mahasiswa telah mendapat suntikan atau santapan rohaniah (agama).
Pelaksanaan pengajaran melalui metode insersi atau lampiran ini dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, tidaklah terlalu memakan banyak waktu, sebab disaat berlangsungnya atau berakhirnya pelajaran umum lalu dihubungkan sebentar (2 atau 3 menit), dengan hal-hal yang mengandung nilai agama, baik dengan melalui prolog, melalui cerita mini maupun dengan melalui penguatan dalil logika, yang dapat menggugah semangat dan perhatian siswa/mahasiswa.
Namun yang penting disini, sebagaimana guru dapat merencanakan persiapan mengajar sebaik-baiknya, sebab disini tujuan pokok adalah mengajarkan pelajaran umum. Sedangkan pelajaran agama hanya bersifat sisipan/selipan saja. Guru umum dalam menyajikan pelajaran umum menyisipkan nilai agama disaat ia mengajar umum itu.
Kebaikan metode lampiran/insersi :
1. Dalam pelaksanaannya, melalui metode ini, tidak banyak memakan waktu. Sebab dengan cara menyisipkan secara halus terhadap jiwa agama dalam vak umum, guru hanya memerlukan waktu berkisar, 2 sampai 3 menit saja.
2. Siswa dengan tanpa disadari, telah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman berupa agama berupa santapan rohaniah
3. Merupakan selingan yang bermanfaat, dan bernilai ibadah.
4. Tidak memerlukan saran/peralatan yang memadai
Keluhan metode ini :
1. Penyajian pelajaran agama tidak mendalam, karena materi pelajaran agama hanya diberikan sambil lalu
2. Dapat mengaburkan persepsi anak didik terhadap agama, bila guru tidak pandai membawa murid/siswa kepada pengertian yang jelas. Sebab guru tidak memiliki jiwa agama dan pengetahuan yang cukup. Semestinya sang guru memiliki jiwa agama/motivasi keagamaan yang kuat.
3. Memerlukan kemahiran dan kejelian dalam membaca situasi kelas, jangan sampai kentara, namun mengena.
4. Memerlukan perencanaan yang matang. Hal ini merupakan tantangan bagi guru-guru umum, agar dapat memberi napas agama pada tugas-tugas mengajar mereka.
Saran-saran pelaksanaannya :
1. Sebelum pelajaran disajikan di sekolah, ada dua hal yang perlu diwujudkan oleh seorang guru, yaitu :
a. Persiapan mengajar yang matang setiap kali pertemuan
b. Perencanaan yang serasi mengenai situasi dan kondisi kelas dengan materi pelajaran pokok / umum
2. Menyajikan bahan pelajaran agama tersebut disesuaikan dengan taraf perkembangan dan pemikiran anak didik/mahasiswa
3. Memerlukan kesungguhan dan penghayatan jiwa agama yang tinggi dari guru yang memegang mata pelajaran umum.
Dalam sejarah, metode lampiran/insersi ini telah dipakai sejak zaman Yunani Kuno. Demikian dalam abad pertengahan Immanuel Kant dan Haigel, telah memanfaatkan cara ini dalam mengembangkan misi agama.
Sifat penyisipan jiwa agama ke dalam mata pelajaran umum, seperti bidang studi hukum, ilmu sosial, ilmu pasti, ilmu sejarah dan bidang-bidang ilmu-ilmu lainnya itu hendaknya disajikan secara halus, sehingga hampir tidak terasa/kentara, bahwa sesungguhnya siswa/mahasiswa telah mendapat suntikan atau santapan rohaniah (agama).
Pelaksanaan pengajaran melalui metode insersi atau lampiran ini dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, tidaklah terlalu memakan banyak waktu, sebab disaat berlangsungnya atau berakhirnya pelajaran umum lalu dihubungkan sebentar (2 atau 3 menit), dengan hal-hal yang mengandung nilai agama, baik dengan melalui prolog, melalui cerita mini maupun dengan melalui penguatan dalil logika, yang dapat menggugah semangat dan perhatian siswa/mahasiswa.
Namun yang penting disini, sebagaimana guru dapat merencanakan persiapan mengajar sebaik-baiknya, sebab disini tujuan pokok adalah mengajarkan pelajaran umum. Sedangkan pelajaran agama hanya bersifat sisipan/selipan saja. Guru umum dalam menyajikan pelajaran umum menyisipkan nilai agama disaat ia mengajar umum itu.
Kebaikan metode lampiran/insersi :
1. Dalam pelaksanaannya, melalui metode ini, tidak banyak memakan waktu. Sebab dengan cara menyisipkan secara halus terhadap jiwa agama dalam vak umum, guru hanya memerlukan waktu berkisar, 2 sampai 3 menit saja.
2. Siswa dengan tanpa disadari, telah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman berupa agama berupa santapan rohaniah
3. Merupakan selingan yang bermanfaat, dan bernilai ibadah.
4. Tidak memerlukan saran/peralatan yang memadai
Keluhan metode ini :
1. Penyajian pelajaran agama tidak mendalam, karena materi pelajaran agama hanya diberikan sambil lalu
2. Dapat mengaburkan persepsi anak didik terhadap agama, bila guru tidak pandai membawa murid/siswa kepada pengertian yang jelas. Sebab guru tidak memiliki jiwa agama dan pengetahuan yang cukup. Semestinya sang guru memiliki jiwa agama/motivasi keagamaan yang kuat.
3. Memerlukan kemahiran dan kejelian dalam membaca situasi kelas, jangan sampai kentara, namun mengena.
4. Memerlukan perencanaan yang matang. Hal ini merupakan tantangan bagi guru-guru umum, agar dapat memberi napas agama pada tugas-tugas mengajar mereka.
Saran-saran pelaksanaannya :
1. Sebelum pelajaran disajikan di sekolah, ada dua hal yang perlu diwujudkan oleh seorang guru, yaitu :
a. Persiapan mengajar yang matang setiap kali pertemuan
b. Perencanaan yang serasi mengenai situasi dan kondisi kelas dengan materi pelajaran pokok / umum
2. Menyajikan bahan pelajaran agama tersebut disesuaikan dengan taraf perkembangan dan pemikiran anak didik/mahasiswa
3. Memerlukan kesungguhan dan penghayatan jiwa agama yang tinggi dari guru yang memegang mata pelajaran umum.
Dalam sejarah, metode lampiran/insersi ini telah dipakai sejak zaman Yunani Kuno. Demikian dalam abad pertengahan Immanuel Kant dan Haigel, telah memanfaatkan cara ini dalam mengembangkan misi agama.